Penulis : Bamby Cahyadi
Ayah seorang tukang jahit. Beliau sangat bersahaja. Kesehariannya selalu dihabiskan di sebuah kios kecil, tepat di depan pintu rumah. Apabila order lagi sepi, ayah mencari order keliling, sehingga ayah dikenal juga sebagai tukang jahit keliling oleh warga setempat.
Rumah kami berada di Kampung Zaitun. Rumah yang sebagian besar dindingnya tanpa plesteran semen ini, lebih mirip sebuah kotak pembungkus televisi besar. Hanya ada sebuah pintu masuk, satu buah jendela tepat di samping pintu, dan dua buah lagi jendela kamar. Tidak ada pintu belakang, karena tepat di belakang rumah kami berdiri juga rumah-rumah warga lain yang tidak kalah kumuhnya dengan rumah kami. Sangat rapat.
Kios tempat ayah bekerja untuk menjahit adalah ruang tamu, yang disekat menjadi dua bagian sekatan yang agak besar menjadi tempat ayah bekerja, menjahit baju pesanan langganannya.
Udara di luar rumah sangat panas. Hawa panas sampai menusuk ubun-ubun kepala. Mungkin akibat dominasi iklim laut. Iklim di tanah Palestina memang berubah-ubah, antara iklim laut tengah dan iklim gurun. Kendati demikian, pada masa-masa tertentu, iklim gurun pasir juga mempengaruhi iklim keseluruhan.
Kampung Zaitun berada di Jalur Gaza. Ada beberapa kota yang berada di Jalur Gaza, di Gaza utara ada kota Beit Hanoun dan Beit Lahiya, di bagian Timur Jalur Gaza juga banyak perkampungan.
Karena kampung kami berbatasan langsung dengan Negara Yahudi Israel, kondisinya sangat menakutkan dan berbahaya. Peristiwa memilukan sering kami saksikan dengan mata kepala. Beberapa ruas jalan utama setiap hari diblokade oleh Pasukan Israel dengan persenjataan lengkap.
Mereka sering bentrok dengan orang-orang dewasa ataupun anak-anak tanggung, bahkan dengan anak kecil seusiaku, bentrokan sering memakan korban jiwa.
***
Sebagian besar teman-teman seusiaku sudah tidak punya orangtua, ayah atau ibu mereka tewas akabat kekejaman tentara Israel.
Makanya aku sangat sayang dan hormat kepada ayah. Beliau tidak banyak berbicara dan sangat melindungi kami. Ibuku, aku, dan adikku.
Namaku Jamal, Jamal Ahmad Fayyad. Usiaku sekarang baru 7 tahun. Adikku Fatimah Shafiyah. Ayahku sering dipanggil orang dengan sebutan Mister Taylor, nama profesinya, nama sebenarnya Mohammad Al-Fayyad. Ibuku bernama Siti Aisyah Mish'al.
Sering aku membayangkan hidup tanpa seorang ayah, aku paling sedih kalau mendengar cerita tentang teman-temanku yang kehilangan ayahnya karena pertempuran dengan pasukan Israel. Sebagian besar orang dewasa dan remaja memilih bergabung dengan Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas yang menguasai seluruh Jalur Gaza.
Hari ini aku malas untuk bermain di luar rumah. Biasanya menjelang siang setelah sekolah, pasti aku, Abbas, Ali, Salam, dan Yunus bermainan petak umpet dan perang-perangan dekat tembok pembatas. Kali ini aku memilih tinggal di rumah, sambil melihat ayah yang asyik sendiri dengan mesin jahitnya. Ibu di kamar mengipasi Fatimah yang tidur kepanasan.
"Jamal, coba kamu ke sini sebentar," ayah memanggilku.
"Ada apa, yah?" tanyaku.
"Temanin ayah ke pasar," katanya sambil merapihkan sisa-sisa potongan kain.
"Asyik, nanti beliin Jamal mainan ya," aku berseru kegirangan. Biasanya kalau ke pasar, aku minta dibeliin mainan.
"Khan mainanmu masih banyak," balas ayah memandangku.
Aku menunduk. Benar juga mainanku banyak. Semua mainan disimpan dengan amat rapih oleh ibu dalam sebuah kotak kayu besar.
Selesai shalat Dzuhur, kami sudah bersiap. Ayah mengambil sehelai Kafiyeh dan dilingkarkan di kepalanya. "Mirip Yasser Arafat," batinku. Tapi Yasser Arafat waktu berumur 38 tahun.
"Ayo kita jalan sekarang," ayah langsung memegang tanganku. Ibu mengantarkan kami sampai ke depan pintu dan kemudian menutupnya rapat.
Jalanan siang ini tidak terlalu ramai oleh lalu lalang orang. Sebagian orang bergerombol di kedai-kedai atau di depan rumah yang berkanopi sambil ngobrol.
Kami berjalan kaki. Ayah masih menuntunku. Tangannya memegang erat tanganku. Padahal aku ingin tanganku jangan dipegang, biar aku bisa jalan sambil berlari-lari atau menendang-nendang batu di jalanan yang berdebu.
Tetapi keinginan itu tidak aku sampaikan. Aku memandang wajahnya, wajah selalu serius. Menyadari aku menatapnya, ayah tersenyum.
"Kenapa lihat-lihat ayah?" tanyanya.
"Ayah keringatan tuh," balasku. Beliau hanya tersenyum, sambil menyusutkan keringat di dahinya dengan kafiyeh.
"Kamu kepanasan juga ya, nanti di pasar ayah akan belikan jus dingin biar kamu segar," rayu ayahku. Mungkin ayah pikir aku memandang dia karena kesal di ajak jalan ke pasar siang-siang.
Tujuan kami adalah pasar Wahd, pasar yang paling ramai dan lengkap di kawasan Jalur Gaza. Pasar masih agak jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki.
Sesekali tanganku dilepas ayah, kemudian dipegang lagi. Tadi tangan kanan, sekarang tangan kiri. Aku senang punya ayah sebaik Mister Taylor ini. Aku tidak akan berpisah dengannya. Aku membutuhkannya. Aku pandang lagi wajahnya.
***
Tiba-tiba dari arah depan kami, banyak orang-orang berlarian. Aku dan ayah menepi ke atas trotoar. Sebagian dari yang berlarian itu terlihat berdarah-darah.
Ayah langsung memelukku dan menggendong tubuhku. Ayah mencari celah untuk bersembunyi. Kami akhirnya menemukan sebuah pot bunga besar di atas trotoar jalan.
Teriakan orang-orang menjadi lebih panik. Aku melihat tank-tank tentara Israel sudah mulai mendekat ke arah kami, suara tank-tank itu bergemuruh. Ayah tercekat. Di udara, Helikopter serbu tentara Israel meraung-raung.
Di sebelah jalan, aku melihat beberapa pejuang sedang berusaha menembakkan roket RPG, aku hafal karena jenis roket tersebut sering kami lihat dipakai oleh para pejuang.
Roket RPG diluncurkan ke arah helikopter, tetapi tidak mengenai sasaran. Balasan tembakan dari helikopter kemudian berdesing-desing di kuping. Aku menutup mata dan telinga. Ayah semakin rapat memelukku di balik pot bunga besar.
Beberapa rentetan tembakan membahana membelah siang yang panas. Keadaan sekeliling kami kocar-kacir. Akibat tembakan roket RPG, tentara Israel yang menggunakan tank kemudian membombardir jalanan.
Beberapa orang mulai melempar bom-bom Molotov ke arah tank. Pejuang Palestina terdesak di jalanan, aku bahkan melihat tiga tubuh tergolek bersimbah darah.
Aku tahu, ayahku bukan penakut. Dia sedang membela dan melindungi aku dari situasi pertempuran ini. Tubuhnya basah oleh keringat. Sekali-kali dia beristighfar dan menyebut asma Allah.
Deru tank-tank Israel semakin terdengar, pertanda semakin dekat dengan tempat posisi kami bersembunyi. Tembakan mortir juga memekakan telinga. Menghancurkan rumah-rumah dan gedung yang berada di sepanjang jalan menuju pasar.
Suasana hingar-bingar mendadak senyap. Ayah dan aku masih berjongkok, bersembunyi.
Tiba-tiba, ada suara lantang yang mengagetkan kami.
"Hai, ke luar kalian dan angkat tangan!" hardik tentara Israel yang tiba-tiba sudah berada di depan kami.
Ayah tetap memeluk aku. Aku ketakutan luar biasa.
"Lepaskan anak itu!" kali ini tentara Israel sudah berjumlah tiga orang.
"Ini anak saya, biarkan kami pergi," teriak ayahku kepada tentara Israel.
"Ngapain kalian di sini?" bentak seorang tentara berkumis tebal.
"Saya mau ke Pasar Wahd, dan kami terjebak dalam pertempuran ini," jawab ayah tanpa terdengar takut.
"Cepat kalian pergi," kata tentara lainnya.
Ayah cepat-cepat memegang aku, untuk pergi. Aku sangat curiga dengan perilaku ketiga tentara Israel ini. Mereka bersenjata lengkap, bahkan moncong senjatanya selalu mengarah ke muka kami.
Ayah berjalan cepat ke arah jalan menuju rumah kami, tanganku dipegang sangat erat. Ayah berjalan terus memandang ke depan. Aku berjalan sesekali kepalaku melihat-lihat ke belakang.
Ya, Allah! Aku terkesiap, saat aku memandang ke belakang, tiga tentara itu sedang bersiap mengarahkan senjatanya ke arah kami, mereka telah mengokang senjata itu dan siap tembak.
"Tembak!" perintah seorang dari mereka.
Senjata laras panjang itu menyalak. Dengan refleks, aku melepaskan tangan dari pegangan ayah. Aku berlari ke arah peluru yang sedang meluncur ke arah ayah. Keberanianku muncul, aku tidak mau kehilangan ayah, aku tidak mau ayah meninggal dibunuh tentara Israel.
Berondongan tembakan mengenai seluruh tubuhku. Ayah langsung berteriak memegang tubuhku yang hendak jatuh ke bumi. Aku tidak merasakan apa-apa, saat tubuhku tergolek dipangkuan ayah. Ayah menangis meraung-raung. Aku berusaha memegang wajah ayahku. Tapi tidak pernah sampai. Aku hanya tidak mau kehilangan ayahku. Aku tahu, betapa sedih teman-temanku yang ditinggal mati seorang ayah. Namaku Jamal Ahmad Fayyad bin Mohammad Al-Fayyad. Aku tameng untuk ayahku tercinta.
Ayah seorang tukang jahit. Beliau sangat bersahaja. Kesehariannya selalu dihabiskan di sebuah kios kecil, tepat di depan pintu rumah. Apabila order lagi sepi, ayah mencari order keliling, sehingga ayah dikenal juga sebagai tukang jahit keliling oleh warga setempat.
Rumah kami berada di Kampung Zaitun. Rumah yang sebagian besar dindingnya tanpa plesteran semen ini, lebih mirip sebuah kotak pembungkus televisi besar. Hanya ada sebuah pintu masuk, satu buah jendela tepat di samping pintu, dan dua buah lagi jendela kamar. Tidak ada pintu belakang, karena tepat di belakang rumah kami berdiri juga rumah-rumah warga lain yang tidak kalah kumuhnya dengan rumah kami. Sangat rapat.
Kios tempat ayah bekerja untuk menjahit adalah ruang tamu, yang disekat menjadi dua bagian sekatan yang agak besar menjadi tempat ayah bekerja, menjahit baju pesanan langganannya.
Udara di luar rumah sangat panas. Hawa panas sampai menusuk ubun-ubun kepala. Mungkin akibat dominasi iklim laut. Iklim di tanah Palestina memang berubah-ubah, antara iklim laut tengah dan iklim gurun. Kendati demikian, pada masa-masa tertentu, iklim gurun pasir juga mempengaruhi iklim keseluruhan.
Kampung Zaitun berada di Jalur Gaza. Ada beberapa kota yang berada di Jalur Gaza, di Gaza utara ada kota Beit Hanoun dan Beit Lahiya, di bagian Timur Jalur Gaza juga banyak perkampungan.
Karena kampung kami berbatasan langsung dengan Negara Yahudi Israel, kondisinya sangat menakutkan dan berbahaya. Peristiwa memilukan sering kami saksikan dengan mata kepala. Beberapa ruas jalan utama setiap hari diblokade oleh Pasukan Israel dengan persenjataan lengkap.
Mereka sering bentrok dengan orang-orang dewasa ataupun anak-anak tanggung, bahkan dengan anak kecil seusiaku, bentrokan sering memakan korban jiwa.
***
Sebagian besar teman-teman seusiaku sudah tidak punya orangtua, ayah atau ibu mereka tewas akabat kekejaman tentara Israel.
Makanya aku sangat sayang dan hormat kepada ayah. Beliau tidak banyak berbicara dan sangat melindungi kami. Ibuku, aku, dan adikku.
Namaku Jamal, Jamal Ahmad Fayyad. Usiaku sekarang baru 7 tahun. Adikku Fatimah Shafiyah. Ayahku sering dipanggil orang dengan sebutan Mister Taylor, nama profesinya, nama sebenarnya Mohammad Al-Fayyad. Ibuku bernama Siti Aisyah Mish'al.
Sering aku membayangkan hidup tanpa seorang ayah, aku paling sedih kalau mendengar cerita tentang teman-temanku yang kehilangan ayahnya karena pertempuran dengan pasukan Israel. Sebagian besar orang dewasa dan remaja memilih bergabung dengan Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas yang menguasai seluruh Jalur Gaza.
Hari ini aku malas untuk bermain di luar rumah. Biasanya menjelang siang setelah sekolah, pasti aku, Abbas, Ali, Salam, dan Yunus bermainan petak umpet dan perang-perangan dekat tembok pembatas. Kali ini aku memilih tinggal di rumah, sambil melihat ayah yang asyik sendiri dengan mesin jahitnya. Ibu di kamar mengipasi Fatimah yang tidur kepanasan.
"Jamal, coba kamu ke sini sebentar," ayah memanggilku.
"Ada apa, yah?" tanyaku.
"Temanin ayah ke pasar," katanya sambil merapihkan sisa-sisa potongan kain.
"Asyik, nanti beliin Jamal mainan ya," aku berseru kegirangan. Biasanya kalau ke pasar, aku minta dibeliin mainan.
"Khan mainanmu masih banyak," balas ayah memandangku.
Aku menunduk. Benar juga mainanku banyak. Semua mainan disimpan dengan amat rapih oleh ibu dalam sebuah kotak kayu besar.
Selesai shalat Dzuhur, kami sudah bersiap. Ayah mengambil sehelai Kafiyeh dan dilingkarkan di kepalanya. "Mirip Yasser Arafat," batinku. Tapi Yasser Arafat waktu berumur 38 tahun.
"Ayo kita jalan sekarang," ayah langsung memegang tanganku. Ibu mengantarkan kami sampai ke depan pintu dan kemudian menutupnya rapat.
Jalanan siang ini tidak terlalu ramai oleh lalu lalang orang. Sebagian orang bergerombol di kedai-kedai atau di depan rumah yang berkanopi sambil ngobrol.
Kami berjalan kaki. Ayah masih menuntunku. Tangannya memegang erat tanganku. Padahal aku ingin tanganku jangan dipegang, biar aku bisa jalan sambil berlari-lari atau menendang-nendang batu di jalanan yang berdebu.
Tetapi keinginan itu tidak aku sampaikan. Aku memandang wajahnya, wajah selalu serius. Menyadari aku menatapnya, ayah tersenyum.
"Kenapa lihat-lihat ayah?" tanyanya.
"Ayah keringatan tuh," balasku. Beliau hanya tersenyum, sambil menyusutkan keringat di dahinya dengan kafiyeh.
"Kamu kepanasan juga ya, nanti di pasar ayah akan belikan jus dingin biar kamu segar," rayu ayahku. Mungkin ayah pikir aku memandang dia karena kesal di ajak jalan ke pasar siang-siang.
Tujuan kami adalah pasar Wahd, pasar yang paling ramai dan lengkap di kawasan Jalur Gaza. Pasar masih agak jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki.
Sesekali tanganku dilepas ayah, kemudian dipegang lagi. Tadi tangan kanan, sekarang tangan kiri. Aku senang punya ayah sebaik Mister Taylor ini. Aku tidak akan berpisah dengannya. Aku membutuhkannya. Aku pandang lagi wajahnya.
***
Tiba-tiba dari arah depan kami, banyak orang-orang berlarian. Aku dan ayah menepi ke atas trotoar. Sebagian dari yang berlarian itu terlihat berdarah-darah.
Ayah langsung memelukku dan menggendong tubuhku. Ayah mencari celah untuk bersembunyi. Kami akhirnya menemukan sebuah pot bunga besar di atas trotoar jalan.
Teriakan orang-orang menjadi lebih panik. Aku melihat tank-tank tentara Israel sudah mulai mendekat ke arah kami, suara tank-tank itu bergemuruh. Ayah tercekat. Di udara, Helikopter serbu tentara Israel meraung-raung.
Di sebelah jalan, aku melihat beberapa pejuang sedang berusaha menembakkan roket RPG, aku hafal karena jenis roket tersebut sering kami lihat dipakai oleh para pejuang.
Roket RPG diluncurkan ke arah helikopter, tetapi tidak mengenai sasaran. Balasan tembakan dari helikopter kemudian berdesing-desing di kuping. Aku menutup mata dan telinga. Ayah semakin rapat memelukku di balik pot bunga besar.
Beberapa rentetan tembakan membahana membelah siang yang panas. Keadaan sekeliling kami kocar-kacir. Akibat tembakan roket RPG, tentara Israel yang menggunakan tank kemudian membombardir jalanan.
Beberapa orang mulai melempar bom-bom Molotov ke arah tank. Pejuang Palestina terdesak di jalanan, aku bahkan melihat tiga tubuh tergolek bersimbah darah.
Aku tahu, ayahku bukan penakut. Dia sedang membela dan melindungi aku dari situasi pertempuran ini. Tubuhnya basah oleh keringat. Sekali-kali dia beristighfar dan menyebut asma Allah.
Deru tank-tank Israel semakin terdengar, pertanda semakin dekat dengan tempat posisi kami bersembunyi. Tembakan mortir juga memekakan telinga. Menghancurkan rumah-rumah dan gedung yang berada di sepanjang jalan menuju pasar.
Suasana hingar-bingar mendadak senyap. Ayah dan aku masih berjongkok, bersembunyi.
Tiba-tiba, ada suara lantang yang mengagetkan kami.
"Hai, ke luar kalian dan angkat tangan!" hardik tentara Israel yang tiba-tiba sudah berada di depan kami.
Ayah tetap memeluk aku. Aku ketakutan luar biasa.
"Lepaskan anak itu!" kali ini tentara Israel sudah berjumlah tiga orang.
"Ini anak saya, biarkan kami pergi," teriak ayahku kepada tentara Israel.
"Ngapain kalian di sini?" bentak seorang tentara berkumis tebal.
"Saya mau ke Pasar Wahd, dan kami terjebak dalam pertempuran ini," jawab ayah tanpa terdengar takut.
"Cepat kalian pergi," kata tentara lainnya.
Ayah cepat-cepat memegang aku, untuk pergi. Aku sangat curiga dengan perilaku ketiga tentara Israel ini. Mereka bersenjata lengkap, bahkan moncong senjatanya selalu mengarah ke muka kami.
Ayah berjalan cepat ke arah jalan menuju rumah kami, tanganku dipegang sangat erat. Ayah berjalan terus memandang ke depan. Aku berjalan sesekali kepalaku melihat-lihat ke belakang.
Ya, Allah! Aku terkesiap, saat aku memandang ke belakang, tiga tentara itu sedang bersiap mengarahkan senjatanya ke arah kami, mereka telah mengokang senjata itu dan siap tembak.
"Tembak!" perintah seorang dari mereka.
Senjata laras panjang itu menyalak. Dengan refleks, aku melepaskan tangan dari pegangan ayah. Aku berlari ke arah peluru yang sedang meluncur ke arah ayah. Keberanianku muncul, aku tidak mau kehilangan ayah, aku tidak mau ayah meninggal dibunuh tentara Israel.
Berondongan tembakan mengenai seluruh tubuhku. Ayah langsung berteriak memegang tubuhku yang hendak jatuh ke bumi. Aku tidak merasakan apa-apa, saat tubuhku tergolek dipangkuan ayah. Ayah menangis meraung-raung. Aku berusaha memegang wajah ayahku. Tapi tidak pernah sampai. Aku hanya tidak mau kehilangan ayahku. Aku tahu, betapa sedih teman-temanku yang ditinggal mati seorang ayah. Namaku Jamal Ahmad Fayyad bin Mohammad Al-Fayyad. Aku tameng untuk ayahku tercinta.
0 Comments:
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)