Malam...

Malam, kini aku telah tenggelam
Terbenam seperti matahari di sore hari
Menyisakan seraut lembayung senja di ufuk barat
Dia seperti gemintang di wajahmu
Tapi tak tampak gemerlapnya di mataku

Malam, aku suntuk melumat asaku
Terasa berat melupakan senyumannya
Dia seperti kembang api di hari lebaran
Tapi kemeriahannya menyengsarakanku.

Aku iri dalam sepi sendiri
Aku benci terbenam seperti ini
Tanpa satu kata
Tanpa balas rasa

Kuingin meraung seperti gemuruh ombak
Tapi tak ada badai yang mengiringi
Kuingin berlari dan berlari tanpa henti
Tapi aku sadar akan keterbatasan hari
Terbenam, terbenamlah aku dalam dahaga
Mencekik kerongkongan kehidupan yang bersemayam
Menanti pahala kasih yang masih terhimpit rahasia.
Terbenam...
Bersama harapan yang tak pasti aku dalam penantian

Inilah kebenaran kisahku yang menggelantung di antara langit dan bumi, ketika hasrat menjerit di kesunyian malam berlapis-lapis kegelapan.

Jiwaku yang menggelepar-gelepar di permukaan duri-duri derita, pada akhirnya harus menuai luka penyesalan bersama kulit kisut yang terkelupas akibat bara api kebencian yang di semburkan oleh peri-peri kesiangan.

Dalam duka yang melara mencari buih harapan di muka lautan, aku laksana burung yang tak bersayap dan perahu yang tak berlayar.

Suara-suara di sekelilingku seolah-olah mengingatkanku pada kebengisan tentara Mongol ketika menyebu kota Baghdad dan menghancur-leburkannya. Aku ingin berteriak, namun mulutku serasa terkunci. Aku ingin meronta-ronta, namun kekuatanku serasa diserapaliran listrik dan tubuhku serasa di himpit batu bata api dari neraka.

Inilah kebenaran kisahku yang mengambang lesu dan bersembunyi di balik arak-arakan mendung penderitaan menuju ke arah kematian hitam, ketika hasrat di sanubari meneriakan kata “Pahamilah Aku” bersama roda kejenuhan yang menggelinding ke dalam jurang kebengisan
Impian-impianku yang beterbangan mencari suasana yang bersih dari hantu-hantu durjana yang berdansa ria di kuil suciku, tertahan oleh pagar-pagar besi kekolotan budaya dan adat istiadat yang di sepuh dengan perak penindasan.

Inilah kebenaran kisahku yang terombang-ambing oleh gulungan ombak keraguan dan terdampar di pantai keresahan, ketika matahari harapanku sirna ditelan alam kebisuan dan rahasia harta karunku dicambuk oleh cemeti pengkhianatan hingga hancur tercecer di teling-telinga para pendosa.

Terkapar sudah semangat juangku tuk mempersatukan perbedaan pendapat antara sang pencuri karena terpaksa dan sang polisi karena melaksanakan tugasnya – di kedalaman kemelut saling tuding yang di bingkai dengan sangkar kesalahpahaman.

Ratapan hatiku selalu mengusik jiwaku yang meleleh bagai cairan lilin yang dijilat-jilat api dan memaparkan perihal kemalangan hsratku kepada anginperdamaian, awan-awan kesejahteraan, bulan kebenaran, bulan kebenaran, bintang-bintang keadilan dan pelangi-pelangi kebahagiaan, sehingga rona kepedihanku yang diterangi cahaya kegelisahan menjelma bagai kilau permata yang tertimbun butiran oasir yang menggunduk di tengah hamparan kebisuan gurun.

Inlah kebenaran kisahku yang tak perlu diragukan, karena aku berkata dan melihat dengan perasaan, juga mendengarkan suara-suara dengan perasaan, sebuah perasaan yang terhimpit oleh beratnya batu penindasan, sehingga hasratku tak sanggup bergeming. Dan, ia hanya bisa mengembun bersama nyanyian-nyanyian orang-orang dungu yang tercecer berserakan.
Hasrat adalah keinginan. Tapi sayang, hasratku telah mengembuan. Hasratku hanya bisa mengembun. Berarti keinginanku hanya mimpi. Berarti juga aku telah mati.